Senin, 22 Juni 2009

BALADA GURU LES ADIT Benar banget kata pepatah yang bilang kalau rasa penyesalan kita pasti kita rasain dibelakangan setelah kesalahan itu kita perbuat. Seperti nasi yang udah terlanjut jadi bubur. Pasti ngak bisa balik kenyal seperti nasi pulen. Mungkin begitulah yang gue rasain saat ini. Ackh, andai bisa yah kita mutar balik yang namanya waktu itu. Pengen rasanya gue balik ke garis start dalam setiap moment kehidupan yang gue jalanin. Andai bisa, salah satu hal yang paling gue pengen ulangi adalah hari-hari singkat yang gue lewatin bersama adikku dengan kak Andir. Gue dan Dita adikku biasa memanggil guru les itu dengan kak Andir. Meski menurut pengakuannya ke kami berdua kalau di luar sana di juga ngajar disebuah SMP swasta. Mestinya kami memanggil dia pak Andir. Secara diakan udah guru gitu. Tapi karena usianya yang masih muda banget membuat saya merasa nyaman memanggil dia kakak dari pada bapak. Apalagi dia enjoy aja. Katanya ngak masalah dia kami panggil apa.” Ini bukan jam sekolah” katanya mengiyakan. Tapi gue bukan mau curhat ataupun cerita sampai berbusa-busa soal sapaan gue ke dia. Bukan itu. Tapi ini soal hikmah yang gue bisa petik sebagai buah penyesalan atas kelakukanku selama ini pada beliau. Entah mengapa malam selasa dan kamis malam adalah malam kelabu buat aku dan Dita. Malam yang ngeselin, malam yang ngebetein, malam yang mengerikan, malam yang menjadi neraka yang menakutkan. Pokoknya semua yang ngak enak di hati deh. Bagi kami bukan malam jumat kliwong yang menakutkan seperti orang laen tapi kedua malam itulah “jumat kliwong” yang sebenarnya. Jawaban mengapa malam itu adalah malam yang paling gue ngak suka adalah karena malam itu kak Andir yang didaulat oleh nyokap sebagai guru les matematika kami. Kalau dia datang sebagai tamu sih emang gue pikirin. Tapi dia datang membawa aura ngebetein bagi kami berdua. Selama dua jam kami harus berkutat dengan rumus-rumus yang bisa membuat mata jadi juling dan pusing tujuh 2 phi kali er. Yah, selama dua jam malam yang mustinya gemerlap indah jadi kelabu tak ubahnya pekuburan yang tanpa lampu penerang dan bulan yang bersinar. Pokoknya semuanya suram gitu deh. Fiuh, kalau kak andir datang aku dan dita merasa kedatangan musibah mingguan. Makanya ngak jarang aku dan Dita sepakat memberi julukan buat kak Andir. Pembawa berita kebetean-lah, malam nan kelabu-lah, malam yang melelahkan-lah, pokoknya banyak istilah lagi yang intinya kami kurang eneg dan streg dengan semua itu. Segala cara gue dan Dita lakuin supaya kak Andir merasa ngak betah. Apalagi nih kalau bokap dan nyokap ngak ada di rumah. Disitulah siapa Adit dan Dita keluar aslinya. Iya sih. Kami selalu terlihat duduk manis di meja belajar kalau ada nyokap dan bokap. Siapa juga coba yang pengen dibentak nyokap yang rada-rada cerewet. Atau stop aliran bantuan langsung tunai dari bokap. Jangan sampai deh Ada satu moment yang ngak bakalan gue lupa seumur –umur gue. Malam itu bokap-nyokap belum balik dari luar kota. Merasa lepas bebas landas aku dan Dita ogah-agahan aja les malam itu. Sibuk nyari alat tulislah, pengen bokerlah, pokoknya sibuk yang disibuk-sibukin aja. Yang penting malam itu bebas dari belajar. Pokoknya aku dan Dita udah sepakat malam itu kak Andir harus bete dan emoh dengan “dua kurcacinya”. Merasa kesal dengan ulah kami berdua akhirnya emosi kak Andirpun terpancing juga. Dia marah. Dia membentak kami dengan nada suara yang tinggi. Jujur baru malam itu aku melihat kak Andir marah seperti itu. “Sebenarnya kalian mau belajar atau ngak?!!!”. Bentaknya dengan suara menggelegar. Tak ada kesan lembut, sabar dan kalem sesuai dengan sifatnya. Ups, ini nih yang gue tunggu-tunggu. “Yahh, belajar lah!!!. Emangnya piknik.” Jawabku cuek bebek. Satu kakiku nyantai diatas meja. Sementara dita yang duduk disampingku balas menatap mata kak Andir tak kalah beraninya. Wih, sesaat kami merasa menjadi super hero yang bisa melawan siapa aja. Suasana tiba-tiba senyap. Hening banget. Kak Andir berusaha menguasai dirinya. Orang yang selama ini berusaha membuat kami pintar hanya diam menatap ke kami berdua. Aku dan dita secara bergantian. Lama banget. “Mungkin kalian begini, karena merasa sudah pintar. Atau…..karena kalian memandang remeh saya sebagai guru les kalian!. Ingat yah. Sepintar-pintarnya kalian kalau ngak menghargai guru dan ilmu itu tak bakalan bisa masuk dalam otak kalian itu” Rangkaian kalimat yang mengalir lepas yang biasa aku dengar malam itu terdengar luar biasa. Entah malaikat dari mana yang menyulap kata itu sehingga bertuah ditelingah kami berdua. Mungkin karena…….. kak Andir menangis. Ya tuhan. Kami sudah membuat orang yang mustinya kami segani mennagis karena kecewa. Dia laki-laki tegar tapi akhirnya menangis juga!! “ Kalau aku mau egois, kalian mau serius atau tidak balajar bukan urusan saya. Honor saya tetap jalan kok meskipun kalian paham atau ngak. Tapi aku ngak mau makan gaji buta. Aku pengen kalian benar-benar merasakan manfaat dari les ini. Itu saja” Malam itulah malam terakhir kami les dengan kak Andir. Mustinya malam ini beliau datang lagi. Tapi mulai malam ini dan malam-malam seterusnya kami ngak bakalan bersua dengan kak andir lagi. Kata mama, kak Andir sudah pulang ke kampung halamannya. Salam terakhir yang aku dapat hanya lewat sms kak andir . kak Andir hanya menitip pesan dan harapan. Aku dan dita bisa dapetin guru les yang lebih baik dari dia. Rasa penyesalanpun akhirnya datang. Yah aku benar-benar menyesal.