Jumat, 12 Desember 2008

ELEGI SANG DUTA

“ Non Brenda……….” Terdengar pembokatku memanggil-manggil dari depan kamar. Sebenarnya pagi itu saya masih ngantuk banget. Rasanya kelopak mataku ngak bisa kubuka. Berat banget deh. Sepertinya ada Jin usil yang sengaja numpahin lem alteco di kelopak mataku. Tapi kalau saya diamin aja pasti nih si pembokat ngak berhenti teriak-teriak dengan suara super soniknya itu. Huh, rasanya sebel banget. “Ada apa sih Mbok kayak mahasiswi lagi orasi aja. masih ngantuk banget nih.” “ Ya illah non Brenda. Ini ada surat Non. Kata yang ngantar tadi supaya non Brenda secepatnya baca.” “Surat apaan sih mbok? Segitu pentingnya deh.” “Mana saya tahu neng. Kan mbok blom buka ini surat.” Terpaksa deh gue bangun. Masih dengan rambut landak, muka monyong sana monyong sini gue sambar juga tuh surat di tangan pembokatku. “Trims ya mbok!” sebenarnya surat itu gue pengen lempar kesudut kamar. Tapi kata-kata pembokat tadi tiba-tiba menarik perhatianku. Surat apaan sih. Kok pagi-pagi banget datangnya. Selamat anda terpilih jadi duta HIV/AIDS… Asyik ………… Saya baru ingat sekarang. Beberapa bulan yang lalu sayakan ikut seleksi sebagai duta HIV/AIDS di sebuah LSM. Wih, rasanya ngak sabaran lagi pengen pakai selempang itu dan keliling kemana-mana menyampaikan info bahaya HIV/AIDS pada semua orang. Wah,……..menunaikan tugas sekalian bisa jalan-jalan kuliner ke kota-kota lain. *** Asyik dan seru banget ternyata. Saya benar-benar menikmati peran baruku sebagai seorang duta HIV/AIDS. Setiap kali LSM itu ngadain penyuluhan pasti brenda yang dilibatkan. Apalagi kalau sasarannya anak sekolahan kayak aku. Yach, penyuluhan sebaya pasti lebih pas. Nah puncak dari tugasku adalah ikut memberikan penyuluhan akan pentingnya seks yang aman buat mereka yang beresiko tinggi terkena HIV/AIDS karena perilakunya. Wih, sebenarnya merinding juga bulu kudukku pertama kali mendengar penjelasan dari pak pimpinan. Masa sih gue harus ngejelasin ke komunitas itu gimana caranya memakai kondom yang aman. Lihat kondom aja ngak pernah. Gimana mau megangnya. Ih…..apalagi dengar-dengar dari teman-teman kalau yang namanya yang gituan lengket-lenket gitu. Jijik deh. “Brenda, Inilah yang namanya tugas dan tanggung jawab seorang duta. Kamu harus bisa.” Kata pak pimpinan terus memberiku support. Besok malam tugas berat itu harus gue emban. Malam semakin larut. Bintang dilangit masih berkedip-kedip lemah. Bisakah besok malam saya bisa tampil di depan komunitas itu? Rasa kantuk membuatku lelap dan lupa dengan ketakutan yang selalu datang menggodaku. *** Waktu bagai berlari. Dari tadi pagi tak henti-hentinya saya belajar akting dadakan didepan cermin. Bagaimana membawakan diri, bagaimana bersikap layaknya seorang duta, bagaimana berbicara yang enak didengar dan ngak bosenin, tatap mata yang tajam tapi ngak nusuk perasaan orang. Pokoknya semuanya gue pelajari secara instan dan terbatas. Ah, gue ngak tahu gimana hasilnya nanti. Apa juga instan atau gimana. Yang penting gue berusaha aja tampil maksimal. Mataku terus melirik-lirik jam di dinding. Sudah menunjuk angka 4 sore. Gimana nih? Siapkah saya malam ini beraksi bak seorang catwomen didepan mereka? Atau jangan-jangan………. “Kring….kring…kring…..” dering handpon tiba-tiba mengagetkanku. Dilayar terlihat nama salah seorang staff LSM. “Halo…. Dengan Brenda?” “iya benar sekali. Ini dengan saya sendiri. Ada apa mas Krisna?”jawabku dengan perasaan yang bercampur aduk. Keki,gugup,malu, ngak pe-de-an, semuanya bercampur seperti permen Nano-Nano. “Kamu dah terima paketnyakan? Okey pelajari yach. Sampai jumpa di lokasi penyuluhan.” Klik!!!! Duh, belum sempat bicara apa-apa mas Krisna dah matiin handponnya. Paket apaan yang dimaksud mas Krisna tadi yach. Mungkin kotak kecil yang di simpan mbok Inna di atas sofa. Bergegas saya ke ruang tamu mencari paket mungil itu. Tidak ada. Barang itu sudah ngak ada di tempatnya semula. Kemana yach?? “Mbok Inna……….” “Iya,non……” tergopoh-gopoh perempuan setengah baya itu datang menghampiriku. “Paket yang tadi di mana mbok?” Diambil ama deng Raka tuh Non. Tuh lagi main di taman depan sama anak-anak kompleks. Wih, balonnya lucu-lucu yach non. Mbok aja sempat ikut lenting-lenting-lengtingin ke udara.” “Apa?! Balon????” ada yang tidak beres. Pirasatku mengatakan ada kejadian yang maha memalukan telah terjadi diluar sana. Apa yang kulihat ternyata benar-.kondom-kondom yang mustinya jadi bahan latihanku sudah menjadi balon-balon udara yang dimainin Raka dan anak-anak kompleks. Saya tak tahu lagi. Bisakah sebentar saya tampil sebagai duta sejati? atau malah menjadi badut dadakan dikomunitas itu? Entahlah. Diluar matahari senja belum tenggelam sempurna diufuk barat.

RAINBOW’S LOVE

Hujan di luar makin deras aja. Poni kuda yang menutup sebagian jidatku yang lebar sesekali kusapu dari butir-butir air yang terpercik dari kaso jendela rumah. Mataku yang bulat indah masih terus menatap keluar jendela. Menembus kearah jalan didepan yang senja itu terlihat samar oleh kabut tipis yang nyaris kelabu. “Ugh, pasti ngak datang lagi.” Bisikku lirih. Nyaris ngak terdengar. Yach, sore itu saya menantikan seseorang yang malam minggu ini akan ngapel ke rumah. Maklum. Ini adalah pengalaman pertama mengenal pacaran setelah SIP (surat izin pacaran) resmi saya kantongi. Cinta monyet kali yach. Tapi yang pasti aku dengan Yoga tetap ngejalani hubungan secara serius meski belum kepikiran membawa hubungan ke arah yang lebih jauh (maksud gue married). Apalagi usiaku masih muda banget. Baru satu bulan lalu resmi masuk usia tujuh belas tahun. Begitu pula dengan Yoga. Uniknya lagi karena tanggal,bulan dan tahun kelahiran kami berdua persis sama. Kayak janjian gitu deh lahirnya dari perut mama kami masing-masing. “Udahlah, Carel. Hujan deras gini Yoga pasti malas datang. “ “Kan hari masih sore, Sov. Gue yakin banget kalau Yoga pasti datang malam ini. Dia dah janji pake suer-sueran segala lagi !.” “Aduh…….nona maniz. Hari gini tuh cowok pada gampang ucapin suer-suer. Mereka ngak takut lagi pakai istilah di sambar geledek lagi. Kamu ingat ngak. Lagu dangdut yang ngetop jaman bonyok kita dulu. Katanya sih gunung tinggi mereka akan daki. Lautan luas mereka akan seberangi. Eh, hujan dimalam minggu mereka malah keok.” “Tapi……….” “Udah deh, Carel. Kamu percaya deh apa kata gue. Laki-laki tuh buaya semua. Jangan terlalu percaya. Makan hati loh nanti!” “Udahlah Sovie. Jangan bikin hati saya makin resah kayak gini dong. Ngasih semangat kek. Kamunya malam bikin down aja. Huh !!!.” Tapi kalau saya pikir-pikir ada juga benarnya kata Sovie barusan. Apa benar yah yoga ngak bakalan datang malam ini. Sementara itu jam di dinding rumah terus bergerak. Jarumnya menunjuk angka 06.00. Yoga …….kapan kamu nongol. *** Benar juga kata pepatah kuno. Kalau kita lagi menunggu seseorang rasanya waktu begitu malas banget ngelakuin tugasnya. Terasa berhenti berdetak. Huh, rasanya BETE banget. Asli kesal. “Malam minggu kali ini kayaknya ngak kelabu deh.” Celutuk Sovie yang datang dengan 2 cangkir coklat yang masih ngepul. Matanya yang genit mengerling keluar dan ke aku secara bergantian. “Maksud loh???” “ya,iyyalah. Malam ini pasti gelap gulita. Kelam gitu. Hitam pekat. Maklum dilangit kan ngak bintang atau bulan. Yang aja juga cuman awan. Makanya aku bilang ngak kelabu. Tapi hitam!!” “Kirain ngeledek gue lagi deh. Saya masih ngasih waktu buat Yoga. Toleransi sampe jam sembilan malam. Kalau…….” “Kalau kenapa?” “Kalau……kalau Yoga ngak juga datang saya tak tahu mau bilang apa lagi. Entahlah. Mungkin besok-besok dia ngak bisa lagi nikmatin hangatnya bulu si ketty. Ngak bisa lagi kejar-kejaran dengan si Tonggo di taman. Pokoknya semua itu tinggal kenangan buat dia.” “Apa itu artinya dia juga ngak kunjungi kamu lagi dong. Dengan kata lain…….kalian putus?” Grrrrrrrr Pengen rasannya gue pencet tahi lalat yang nongkrong dekat batang hidung Sovie. Sudah tahu hatiku lagi gundah gulana dianya malah terus menggoda dengan pura-pura bego gitu. “Ya iyyalaaah. Tullait banget sih kamu malam ini!!.” “Heheheh sorry deh. Bukannya mau godain kamu Carel. Tapi rileks dikit kenape. Bawa santai aja deh. Dari pada rambut yang hitam itu rontok sebelum waktunya. Nah ayo kamu pilih mana?” Dongkol, kesal dan marah kutumpahkan pada Sovie malam itu. Tapi ada juga baiknya. Rasa kesalku pada Yoga sedikit teralihkan. *** Malam itu saya benar-benar hanyut dalam arus kecewa yang teramat deras. Waktu toleransi yang kusiapkan buat Yoga telah berlalu. Jendela yang sejak tadi terbuka lebar telah kututup rapat-rapat. Saya tak mau lagi terus menandangi jalan yang ada di depan rumah. Ngak peduli lagi kalau tiba-tiba Yoga muncul disana. Ngak penting dia datang membawa kejutan atau tidak. Saya dah marah. Saya terlanjut ilfill ke dia. Musik romantis yang saya siapkan sejak tadi sudah kulempar masuk tempat sampah. Bahkan Soviepun dah gue usir masuk ke kamar tidur. Malam itu saya pengen sendiri aja diruang tengah tanpa siapapun juga. Saya pengen membuang air mata yang sejak tadi ngantri pengen berderai. Duh, betapa menyakitkannnya pengalaman jatuh cinta pertama seperti ini. *** Keluar dari ruang kelas saya langsung menuju taman di belakang sekolah. Entah kenapa hari itu gue malas banget ke kantin mbok Inem. Meski saya dengar mbok inem bikin resep baru yang bisa buat lidah goyang jaipongan. Pokoknya malas banget. Tak ada Sovie sobitku yang selalu setia. Kemarin malam saya dah pesan hari senin besok tak usah dulu nempel kayak dayang-dayangku dulu. Saya pengen sendiri. Benar -benar sendiri. Saya mencoba mengingat masa-masa manis kala bersama Yoga. Duh, mengapa kau begitu tega mengecewakan saya Yoga. Namun tiba-tibA lamunanku terbang ketika sosok yang kucinta sekaligus kubenci setengah hidup tiba-tiba berdiri tegap didepanku. “Mau apa lagi,hah?!!!” suaraku bergetar menahan tangis yang siap pecah ketuban lagi. “ Biar kujelasin dulu kalau semalam………….” “Agh, udah deh. Ngak usah bahas yang itu lagi. Malas!!!” kusambar tas kecil yang ada disampingku dan bergegas pergi dari taman itu. Namun, tiba-tiba tangan Yoga yang kekar menahan tanganku. Sesaat saya berontak lalu akhirnya luluh. “Carel, Gue harap kamu mau dengar penjelasan saya ini. Habis itu terserah kau mau ngapain. Please honey.” suara Yoga yang tenang penuh wibawah bagai air Gangga menyiram kobaran api di dadaku. Okey cuman 5 detik. Kataku dalam hati meski masih menyisa rasa dongkol. “ Semalam mamaku masuk rumah sakit. Beliau harus opname sementara papaku masih dinas diluar kota. Saya ngak sempat hubungi kamu saking paniknya aku saat itu. Sampai sekarang mamaku masih koma dirumah sakit. Hari ini aja sebenarnya gue pengen izin ngak masuk sekolah. Tapi saya ingat kamu dan pengen minta maaf makanya gue bela-belain kesini. “ “ap…ap benar yang kau katakan barusan, Yoga?” sekarang kutatap mata Yoga. Dibalik sorot mata elang itu ada tangis seorang anak. Yah Tuhan. Yoga ngak bohong. Itu keseimpulan hatiku setelah sebelumnya kompromi dengan otak dan egoku. “Maafin aku yach Yoga. Aku dah salah paham pada kamu. Maafin yach” Hari itu kurasaka betapa indahnya pelangi hatiku. Kurasakan arti sebuah ketulusan sejati. Cinta yang benar-benar tulus. Pulang sekolah saya dan Yoga mampir dulu menjenguk mamanya dirumah sakit “ Mama calon mertua. Cepat sembuh yach. Ini calon menantu idamanmu datang menjenguk.” Bisik hatiku sambil terus memijit kening mama yoga.